Jumat, 20 Januari 2012

candi tegowangi kediri

candi tegowangi

candi tegowangi 12
Terletak di Plemahan, + 25 km, + 45 menit dari Kota Kediri. Menurut Kitab Negarakertagama dan Pararaton, candi ini merupakan monumen Kerajaan Majapahit pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Relief candi dari batu andesit ini menceritakan wayang purwo dengan tokoh Sudamala.

TEGOWANGI TEMPLE

This Hindus temple is in Plemahan, small village + 25 kms, + 45 minutes from Kediri City. Historical book of Negarakertagama and Pararaton state this temple was a monument of Majapahit Kingdom at Hayam Wuruk’s reign. Reliefs on this andesit temple tell a tale of Sudamala, a character on Wayang Purwo (Purwo Puppets) performance.

setono gedong kediri

Situs Setono Gedong

Situs Setono Gedong KediriSitus Setono Gedong lokasinya berada di belakang Masjid Aulia Setono Gedong, dicapai melalui sebuah gang yang cukup besar di Jl. Doho, Kediri, yang letak dan arahnya berseberangan dengan jalan simpang yang menuju ke arah Stasiun Kereta Api Kediri. Di dekat situs ini juga terdapat kompleks makam keramat yang banyak dikunjungi peziarah.
Sebelum masuk ke kompleks Masjid Setono Gedong, terdapat sebuah gapura yang tidak begitu tinggi namun sangat tebal dindingnya, yang konon sebelumnya merupakan gapura sebuah candi. Sebuah sumber mengatakan bahwa beberapa pihak telah berupaya untuk mempertahankan gapura itu, namun sayang tidak berhasil. Masih beruntung bahwa gapura candi itu tidak dihancurkan, namun hanya dilapis semen sehingga bentuknya pun berubah seperti sekarang ini.
Situs Setono Gedong Kediri
Susunan batu yang ditata berjajar membentuk undakan menuju bangunan pendopo bergaya joglo, yang berukuran besar di sebelah kanan, dan yang berukuran kecil berada di sebelah kiri. Kedua bangunan itu tampaknya belum terlalu lama didirikan.
Situs Setono Gedong Kediri
Susunan batu di bagian bawah yang berwarna kekuningan adalah masih asli, yang menurut sebuah sumber merupakan pondasi sebuah candi dari jaman Kerajaan Kediri, sedangkan yang dibagian atasnya merupakan susunan batu yang ditata kemudian.
Konon di atas pondasi candi itu sempat akan dibangun sebuah masjid oleh para wali. Namun karena alasan yang tidak diketahui, pembangunan masjid itu tidak jadi dilaksanakan. Materialnya konon kemudian digunakan untuk membantu menyelesaikan pembangunan Masjid Demak di Demak, dan Masjid Sang Cipta Rasa di Cirebon.
Area di atas pondasi itu sempat difungsikan sebagai sarana prasarana ibadah, dan tempat pertemuan para wali. Menurut cerita, wilayah Kediri dibagai dalam 2 kelompok oleh para wali. Di Barat sungai di pimpin oleh Sunan Bonang, sedangkan di sebelah Timur sungai dipimpin oleh Sunan Kali Jogo, yang di dalamnya termasuk mbah Wasil yang berasal dari Istambul. Kediri adalah salah satu daerah yang paling akhir di-Islam-kan oleh para wali.
Situs Setono Gedong Kediri
Relief Burung Garuda di Situs Setono Gedong, yang dipahat pada sisi sebuah batu persegi yang bagian atasnya berbentuk bunga teratai yang bulat dan gemuk di tengah berhias garis-garis lengkung, dengan bagian atas rata. Batu di Situs Setono Gedong ini di simpan di bawah bangunan joglo kecil yang berada di sebelah kiri.
Situs Setono Gedong Kediri
Sebuah lingga yang diletakkan di sisi sebelah kanan batu berelief Garuda. Seperti tampak pada foto, bahwa di sisi batu yang berada di belakang lingga ini juga terdapat relief Garuda dengan sayap mengembang, berbeda bentuknya dengan relief garuda pada sisi sebelumnya.
Situs Setono Gedong Kediri
Relief Garuda itu ternyata dipahat pada keempat sisi batu di Situs Setono Gedong ini. Dalam kepercayaan Hindu, Garuda adalah burung yang menjadi tunggangan Dewa Wisnu.
Situs Setono Gedong Kediri
Tumpukan batu-batu berukir, yang diletakkan pada salah satu sisi di kompleks Situs Setono Gedong ini. Jika diperhatikan, batu yang menumpang pada sebelah kiri atas batu yang memanjang, memiliki ukiran relief manusia yang tengah duduk bersila, dengan jari-jari tangan menangkup, sebatas dada, tanpa kepala. Sebuah relief yang lazim dijumpai pada candi.
Situs Setono Gedong Kediri
Sebuah bentuk batu di Situs Setono Gedong yang menyerupai sebuah mangkuk besar yang rata permukaannya, diletakkan di atas sebuah umpak yang ornamennya sudah tidak begitu kentara lagi.
Situs Setono Gedong Kediri
Bangunan pendopo tanpa dinding, dengan atap bersusun tiga, yang disangga lima baris pilar kayu yang masing-masing berjumlah enam buah. Sebelum dibangun pendopo, area ini sempat tidak terurus dan ditumbuhi alang-alang yang tinggi.
Situs Setono Gedong Kediri
Sebuah sumur tua yang letaknya berdekatan dengan situs Situs Setono Gedong, yang mengingatkan saya pada Sendang Tirta Kamandanu.
Situs Setono Gedong Kediri
Situs Setono Gedong merupakan sebuah situs yang sangat menarik buat saya, meskipun masih menyimpan banyak misteri. Tidak ada prasasti bertulis yang ditemukan di sekitar Situs Setono Gedong ini yang bisa mengungkap riwayat situs ini. Hanya ada relief Garuda dan serakan sisa-sisa batu candi, serta cerita-cerita yang memberi gambaran samar mengenai riwayat Situs Setono Gedong di Kediri ini.

Situs Setono Gedong

Belakang Masjid Setono Gedang,
Jl. Doho, Kediri, Jawa Timur
Peta Wisata Kediri

gunung kelotok dan monumen simpang lima gumul keidir jatim,

WISATA KEDIRI : Monumen Simpang Lima Gumul & Goa Selomangleng

 Gunung Klotok - Kediri

Selesai mengikuti upacara HUT RI ke-63 di kantor, kami (aku, Mas Fadjar & ananda Hanif) segera bersiap mudik ke Kediri.

Perjalanan Surabaya - Kediri, lancar dan menyenangkan. Kota demi kota terlewati, Mojokerto, Mojoagung, Jombang, Kertosono, Purwoasri berakhir di Kediri. Mas Fadjar santai saja menjalankan kendaraan. Hanif terlihat anteng dan nyaman berada di "daerah kekuasaannya" (jok belakang), ditemani bantal guling & mainannya.


BULAN PURNAMA 
DI MONUMEN SIMPANG LIMA GUMUL

Malam hari, kami bersama Ibunda, adik dan keponakan (Naufal & Rifqi) jalan-jalan ke Monumen Simpang Lima Gumul (Monumen SLG).

Monumen Simpang Lima Gumul terletak di Desa Tugurejo, Kec. Gampengrejo, Kab. Kediri. Daerah Simpang Lima adalah tempat bertemunya arus lalu lintas dari lima arah. Dari arah Kediri, Pare, Pagu, Pesantren dan Gurah. Sebagai jantungnya adalah Monumen Simpang Lima Gumul.

Sebuah bangunan persegi empat yang berdiri megah, menjulang tinggi dan berukuran raksasa. Kami jadi merasa kecil saat berjalan melewati gerbangnya dan berada di bawah langit-langitnya. Kemegahan bangunan Monumen SLG mirip dengan Monumen Arc de Triomphe yang terdapat di Paris, Perancis.

Untuk ukuran kota kecil seperti Kediri, Monumen Simpang Lima Gumul adalah bangunan yang monumental, yang spektakuler, bangunan yang merupakan landmark dan icon Kota Kediri. Kalo Jakarta punya Monas, Surabaya punya Tugu Pahlawan, Bukittinggi punya Jam Gadang, maka warga Kediri bangga punya Monumen Simpang Lima Gumul.



















Monumen Simpang Lima Gumul 

Salut untuk Bapak Bupati Kediri yang berani mewujudkan ide brilian pembangunan Monumen Simpang Lima Gumul. Diharapkan kedepannya Monumen SLG akan menjadi daerah pusat bisnis dan pusat wisata belanja.

Malam ini, kami menikmati indahnya purnama di pelataran Monumen SLG. Rembulan bersinar penuh di langit yang berwarna pekat. Sangat indah. Keindahannya langsung menebar dalam ruang imajinasiku. Dunia terasa lebih damai, syahdu dan romantis.

Mendengar Naufal, Rifqi dan Hanif berteriak-teriak sambil berlarian, rasanya seperti mendengar nyayian merdu yang mendayu-dayu. Gerakan mereka yang lincah dan energik berubah bagai gerakan slow motion seperti yang terjadi di film The Matrix. Terlihat indah, anggun dan mempesona.

Saat rembulan purnama di Monumen SLG bagai menyaksikan lukisan artistik karya sang Maestro.

Kami berjalan-jalan mengitari bangunan Monumen. Angin malam terasa menderu kencang. Di sekitar pelataran Monumen banyak sekali pedagang kaki lima yang menjual makanan. Ada soto ayam, bakso, mie ayam, nasi goreng, jagung bakar, burger, aneka gorengan, kacang rebus dan masih banyak yang lainnya.

Monumen SLG telah berubah menjadi tempat wisata keluarga yang menarik dan menyenangkan. Saat malam makin beranjak larut dan angin malam terasa semakin dingin, kami bersiap untuk pulang. Rembulan masih setia bersinar, menghias langit Kediri. Sangat indah.


SARAPAN PAGI KHAS KEDIRI 
DI PASAR BANDAR

Pagi hari di rumah Ibunda (di Mojoroto-Kediri). Udara pagi terasa segar dan sejuk.

Sekitar jam 6 pagi, kami bersama Ibunda dan adik ke Pasar Bandar buat mencari sarapan. Di dalam Pasar Bandar (area samping depan) berjejer warung makan yang menyediakan sarapan pagi khas Kediri yaitu nasi pecel / tumpang. Kami masuk di salah satu warung yang rame oleh antrian pembeli.

Kami memesan nasi pecel campur tumpang. Nasi pulen yang masih mengepul hangat, diatasnya diberi sayuran rebus daun kenikir, kacang panjang dan kecambah, kemudian diguyur dengan sambal pecel dan sambal tumpang yang kental mantab. Dilengkapi dengan perkedel singkong yang gurih, tahu goreng dan rempeyek kacang / teri yang enak, tipis dan renyah. Sedaaap...!!! Harga seporsi nasi pecel tumpang sangat terjangkau, hanya Rp. 4000,- dan Rp. 1000,- untuk segelas teh manis panas. Makan seporsi rasanya masih kurang, kepengin nambah lagi.

Disini juga tersedia minuman dawet campur khas Pasar Bandar. Satu porsi dawet campur disajikan di mangkuk, terdiri dari bumbur sumsum (bubur beras putih), bubur ketan hitam, bubur mutiara, agar-agar rumput laut dan cendol warna hijau. Diatasnya disiram dengan sirup gula merah dan diberi santan yang kental. Nikmat sekali. Satu porsi dawet campur harganya Rp.2500,-

Sarapan pagi khas Kediri yang selalu bikin kangen. Enak, murah, meriah dan bergizi.


MENGHITUNG ANAK TANGGA 
BUKIT MASKUMAMBANG
 



















Acara berikutnya : berenang di kawasan wisata Selomangleng.

Kawasan wisata Selomangleng terletak di bag. Barat kota Kediri (di wilayah Barat sungai Brantas). Dari pusat kota Kediri berjarak sekitar 3 kilometer.

Rute ke kawasan Wisata Selomangleng : 

dari Bundaran Taman Sekartaji, ikuti jalan raya ke arah Barat, lurus saja (akan melewati dua perempatan, yaitu perempatan Jl. Penanggungan dan perempatan Sukorame). Dari sini sudah kelihatan gunung Klotok yang membiru. Jalan lurus saja ke arah Barat sampai menemukan gerbang masuk Kawasan Wisata Selomangleng.

Sekarang kawasan Selomangleng telah dibangun menjadi objek wisata keluarga yang bagus dan lengkap. Ada kolam renang, taman bermain yang dilengkapi dengan aneka permainan anak-anak, rumah makan apung, panggung gembira, kereta wisata, area buat jalan sehat / jogging dan toko souvenir.

Di pintu gerbang masuk kawasan wisata Goa Selomangleng dan sekitarnya, petugas akan menarik karcis retribusi sebesar Rp. 2000,- (dewasa) dan Rp. 1000,- (anak-anak).




















Kolam Renang Selomangleng

Kawasan wisata Goa Selomangleng menerapkan Sapta Pesona Wisata yang terdiri dari 7 unsur : 1. Aman, 2.Tertib, 3. Bersih, 4. Sejuk, 5. Indah, 6.Ramah Tamah dan 7.Kenangan, bertekad untuk menjadi tujuan wisata keluarga yang menarik dan layak untuk dikunjungi.
















Berenang di Selomangleng menjadi acara wajib buat Hanif bila berlibur di Kediri.
Kolam renang bernuansa alam dengan latar belakang pemandangan Gunung Klotok. Kami bisa menikmati pemandangan yang indah dan merasakan udara pegunungan yang segar.

















Pagi ini kami menjadi pengunjung pertama di kolam renang. (wooww.. serasa berenang di kolam renang pribadi.. hihihi..)
Kolam renang buka jam 06.30 sampai jam 17.00 WIB.
Tiket masuk bagi orang dewasa Rp. 4000,-, dan anak-anak Rp. 3000,- Dengan fasilitas dan sarana yang begitu bagus, harga tiket termasuk sangat murah dan terjangkau.




















Kolam Renang Selomangleng





















Goa Selomangleng - Kediri

Puas berenang di pagi yang cerah, kami jalan-jalan ke Goa Selomangleng.
Menurut cerita rakyat, Goa Selomangleng merupakan tempat pertapaan Dewi Kilisuci. Seorang putri dari Kerajaan Kediri yang pada akhir hayatnya memilih untuk menyepi dan menjauhkan diri dari keramaian dunia. Banyak relief-relief yang terpahat di dinding goa, salah satunya relief Dewi Kilisuci.

















Dari Goa Selomangleng, kami jalan-jalan menuju taman di depan goa Selomangleng. Kami istirahat sejenak di gazebo taman. Pepohonan cukup rindang dan angin bertiup semilir.

















Kami meneruskan langkah menuju Bukit Maskumambang.
Di puncak bukit Maskumambang terdapat Astana Boncolono. Sebuah kompleks makam leluhur Eyang Boncolono. Untuk menuju ke puncak, sudah dibangun tangga dari batu yang dibagi dua jalur. Anak tangga yang meliuk-liuk panjang, sampai ke puncak bukit Maskumambang.

















Dengan semangat kami menghitung satu demi satu anak tangga yang telah kami pijak. Satu, dua, tiga,... lima puluh... Kami beristirahat dulu, meredakan nafas yang tersengal. Lima puluh satu... Delapan puluh lima... Kami berhenti lagi. Angin bertiup kencang. Tenggorokan terasa kering. Hanif masih semangat menaiki anak tangga. Seratus lima puluh... !!!













 



Kami berhenti di anak tangga ke seratus lima puluh. Sudah cukup tinggi buat ananda Hanif. Kami beristirahat di lahan yang agak lapang. Melihat pemandangan yang indah, luasnya langit biru dan merasakan sejuknya semilir angin pegunungan.

Dari sini terlihat Gunung Klotok yang menjulang perkasa, kawasan wisata Selomangleng, hamparan sawah-sawah yang membentang luas dan pemandangan kota Kediri.

museum airlanga kediri

Museum Airlangga

Museum Airlangga KediriMuseum Airlangga berada di Jl. Mastrip 1, Kawasan Wisata Selomangleng, yang menyimpan arca batu dan benda-benda peninggalan purbakala lainnya dari jaman kejayaan kerajaan Mataram Hindu. Pada kali pertama saya datang di kawasan wisata Selomangleng, Museum Airlangga baru saja tutup, dan baru pada keesokan harinya saya bisa masuk ke dalam gedung Museum Airlangga ini.

Nama museum diambil dari nama Raja Airlangga, yang lahir di Bali pada 990 dan diduga meninggal di Belahan 1049, pendiri Kerajaan Kahuripan yang memerintah pada 1009-1042 dan bergelar Abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.
Adalah Airlangga yang meminta Mpu Kanwa untuk menggubah sebuah karya sastra berjudul Kakawin Arjunawiwaha pada 1030, menyadur Wanaparwa, kitab ketiga Mahabharata karya Vyasa dari India.
Setelah gagal menempatkan salah satu putranya sebagai raja di Bali, sebelum turun tahta dan menjadi pendeta, Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk membelah wilayah kerajaannya menjadi dua, yang kemudian menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala, dan diberikan kepada kedua putranya.
Museum Airlangga Kediri
Tampak depan Museum Airlangga dengan wuwungan bertingkat dan dinding kaca di sekeliling bangunan museum. Papan nama Museum Airlangga terbuat dari kayu berukuran cukup besar di tempel di bagian depan museum.
Museum Airlangga Kediri
Patung Airlangga yang digambarkan sedang naik seekor Burung Garuda yang kakinya mencengkeram seekor ular naga. Garuda dalam kepercayaan Hindu adalah kendaraan Dewa Wisnu, dan Airlangga dikenal sebagai penganut Hindu yang taat. Patung Airlangga yang terbuat dari batu andesit ini diletakkan di depan Museum Airlangga.
Museum Airlangga Kediri
Koleksi Makara yang disimpan di Museum Airlangga. Makara adalah binatang mitologis yang bentuknya menyerupai ikan namun memiliki belalai, yang digunakan untuk menyalurkan air di candi-candi Hindu atau sebagai pancuran.
Ada pula koleksi Arca Nandi, Lembu kendaraan Shiwa, serta koleksi arca batu lainnya yang diletakkan di bagian kanan Museum Airlangga. Nandi adalah lambang moral, keadilan, dan kekuatan, yang biasanya dibuat dalam posisi badan mendekam dengan kaki depan siap berdiri, yang menunjukkan kesiapan menerima perintah Shiwa.
Ada relief manusia pada sebuah potongan batu candi dengan wajah menghadap ke samping, yang konon berhubungan dengan pemujaan terhadap roh leluhur. Relief manusia di candi-candi di Jawa Tengah umumnya digambarkan secara natural dengan wajah menghadap ke muka.
Museum Airlangga Kediri
Jaladwara di Museum Airlangga, yang merupakan pancuran air yang dipergunakan di candi atau pemandian kuno. Pancuran air di candi pada umumnya menggunakan bentuk makara atau guci yang dibawa seorang pemuka agama, yang melambangkan kesucian dan kesuburan.
Museum Airlangga Kediri
Arca Kala di Museum Airlangga. Kala adalah juga binatang mitologis dalam kepercayaan Hindu yang digambarkan dalam bentuk wajah dengan raut yang menakutkan, mata besar melotot, dan mulut menyeringai lebar memperlihatkan gigi taringnya yang tajam. Relief Kala umumnya diletakkan di atas ambang pintu masuk candi, sebagai penolak bala.
Museum Airlangga Kediri
Sebuah temuan purbakala berupa Yoni di Museum Airlangga. Yoni biasanya berbentuk balok batu dengan sebuah lubang di tengah sebagai tempat untuk menancapkan Lingga (Shiwa), dan ada cerat di salah satu sisinya untuk mengalirkan air pembasuh Lingga sewaktu diadakan upacara. Yoni, yang merupakan lambang kesuburan wanita, biasanya diletakkan di ruang utama candi dengan cerat menghadap ke arah utara.
Di Museum Airlangga terdapat sebuah Aca Buddha tanpa kepala. Dalam kepercayaan Buddha dikenal 3 perwujudan Buddha, yaitu Manusia Buddha (Buddha yang menjelma menjadi manusia), Dhyani Buddha (Buddha yang bersifat badan halus) dan Dhyani Bodhisatva (Buddha sebagai mahluk kayangan).
Ciri-ciri arca Buddha lazimnya adalah adanya unisha (rambut dan sanggul), urna (bulatan di tengah dahi), telinga yang panjang, dan mudra (sikap tangan yang menjadi pembeda antara arca Buddha yang satu dengan lainnya).
Museum Airlangga Kediri
Sebuah Arca Shivanandi yang disimpan di Museum Airlangga. Shiwa adalah dewa tertinggi Trimurti (Shiwa, Wisnu, Brahma), yang digambarkan bertangan empat (masing-masing membawa trisula, cemara, genitri, dan kendi), bermata tiga, ada ornamen ardha chandra (bulan sabit) pada hiasan kepala, ikat pinggang dari kulit harimau, hiasan leher ular kobra, dan berkendara Lembu Nandini.
Shiwa adalah dewa pelebur, yang menghancurkan segala yang usang dan tidak layak lagi berada di dunia dan harus dikembalikan ke asalnya.
Museum Airlangga Kediri
Sebuah Jambang batu berukuran besar koleksi Museum Airlangga yang bentuknya menyerupai silinder namun berpenampang lonjong, dengan hiasan berupa bunga teratai yang merupakan lambang kesucian. Dalam kepercayaan Hindu, sebuah benda dengan penampang mendekati bentuk lingkaran biasanya dikaitkan dengan asal mula kehidupan.
Museum Airlangga Kediri
Sebuah patung Shiwa setinggi satu setengah orang dewasa, yang tampaknya merupakan arca terbesar di Museum Airlangga. Arca Shiwa, yang mata ketiganya bisa membakar musnah apa pun yang tidak dikehendakinya, biasanya diletakkan di ruang utama candi Hindu.
Museum Airlangga Kediri
Arca Ardhanari di Museum Airlangga, yang merupakan lambang persatuan Shiwa dengan Parwati, isterinya. Ardhanari karenanya digambarkan berbentuk setengah pria dan setengah wanita bertangan empat, dengan dua tangan belakang masing-masing memegang aksamala dan camara dan dua tangan depan diletakkan di depan perut.
Museum Airlangga Kediri
Prasasti Batu di Museum Airlangga yang terbuat dari batu andesit dengan tulisan huruf Jawa kuno yang masih terlihat cukup jelas, dengan hiasan flora di bagian bawahnya.
Museum Airlangga Kediri
Arca Dewa Wisnu di Museum Airlangga. Wisnu adalah Dewa Pemelihara, yang digambarkan bertangan empat, masing-masing tangan memegang sankha (lambang pembebasan manusia dari kesulitan), cakra (lambang perputaran dunia), pada (lambang kekuatan) dan padma (lambang kedewaan). Di Museum Airlangga juga ada koleksi Gentong Batu yang bentuk bulatnya bisa dikaitkan dengan padma, asal mula kehidupan, dan sebagai wadah air suci.
Di sebelah samping kiri Museum Airlangga terdapat area terbuka di bawah pepohonan dimana disimpan beberapa koleksi arca dan dan benda-benda lain yang terbuat dari batu.
Museum Airlangga di kawasan wisata Selomangleng memiliki koleksi yang cukup beragam dan bernilai sejarah tinggi, meskipun penataan interiornya terkesan agak sederhana. Keterangan yang ada pada setiap koleksi Museum Airlangga ini sangat membantu pengunjung dalam memahami arti masing-masing benda. Akan lebih membantu lagi jika ditambahkan keterangan mengenai riwayat penemuan benda-benda tersebut.

Museum Airlangga

Jl. Mastrip 1 Kawasan Selomangleng,
Kediri
Telp. (0354) 773157, Fax. (0354) 686613
Peta Wisata Kediri

totok kerot kediri

Arca Totok Kerot

Arca Totok KerotArca Totok Kerot adalah tempat pertama yang kami kunjungi di daerah Kediri, setelah sebelumnya kami dijemput oleh Mas Sanusi di Stasiun Kediri pada sebuah pagi, beberapa saat setelah turun dari Kereta Api Gajayana yang berangkat dari Jakarta malam sebelumnya. Selama di Kediri, Mas Sanusi-lah yang berbaik hati menemani kami berkeliling ke banyak tempat di Kediri.

Adalah Myra Diarsi yang memperkenalkan kami dengan mas Sanusi, yang ternyata juga senang pergi berkelana ke tempat-tempat bersejarah di Kediri, yang sebagian belum dikunjunginya meskipun telah cukup lama tinggal di kota itu sejak mengelola sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang didirikannya.
Arca Totok Kerot
Arca Totok Kerot berada di tepian ladang jagung dan tanaman tebu, di atas sebidang tanah terbuka yang dikelilingi oleh bilah pagar besi.
Arca Totok Kerot
Pintu masuk pagar besi ini digembok, dan tidak ada penjaga yang datang ke lokasi Arca Totok Kerot ini, sampai kami meninggalkan tempat itu. Tidak pula terlihat ada nomor telepon penjaga yang bisa dihubungi, meskipun di bagian samping depan situs Arca Totok Kerot terdapat sebuah pos jaga.
Arca Totok Kerot
Arca Totok Kerot setinggi tiga meter ini diduga merupakan peninggalan dari Kerajaan Kediri atau Panjalu (1042-1222) yang beribukota di Daha (baca: “Doho”), atau sekitar Kota Kediri sekarang ini. Dugaan ini berasal dari adanya lambang Kediri berupa ornamen tengkorak di atas bulan sabit pada dahi atas Arca Totok Kerot, yang disebut Candrakapala.
Arca Totok Kerot
Arca Totok Kerot ini memakai ornamen tengkorak pada lengan, anting kiri kanan, dahi dan juga untaian kalung di lehernya. Kepalan tangan kanan Arca Totok Kerot ini terlihat telah hancur tidak berbentuk. Arca Totok Kerot ini sebelumnya terbenam di bawah tanah ketika ditemukan penduduk pada 1981, dan baru sepenuhnya diangkat pada 2003.
Pepohonan di sekitar Arca Totok Kerot tidak cukup untuk menaungi pengunjung dari sengat matahari Kediri yang terik, namun cukup untuk memberi keasrian situs itu. Arca Totok Kerot yang terbuat dari batu andesit utuh ini kakinya terlihat dihiasi dengan lilitan ular bermahkota di kepalanya.
Arca Totok Kerot
Rambut gimbal Arca Totok Kerot, yang memang merupakan sebuah arca raseksi (raksasa perempuan). Legenda setempat menceritakan bahwa Arca Totok Kerot adalah jelmaan seorang putri cantik dari Lodoyo, Blitar yang dikutuk oleh Sri Aji Jayabaya setelah dikalahkan dalam adu kesaktian lantaran keinginannya untuk diperistri Raja Kediri itu ditolak.
Arca Totok Kerot
Dari samping sebelah kiri, Arca Totok Kerot ini terlihat masih cukup baik, meski kepalan tangannya tidak ada lagi dan bagian atas mata kanannya seperti sobek terkena parang.
Arca Totok Kerot
Jika dilihat dari depan baru terlihat bahwa tangan kiri Arca Totok Kerot telah hilang sampai ke pangkal lengannya.
Arca Totok Kerot
Tangan kiri sebatas lengan Arca Totok Kerot yang telah hilang sama sekali. Barangkali jika dilakukan penggalian di sekitar situs ini, potongan lengan Arca Totok Kerot ini bisa ditemukan.
Arca Totok Kerot
Jalanan menuju Arca Totok Kerot, diambil dari lokasi dimana Arca Totok Kerot berada. Jalanan ini terlihat cukup lebar dan ditata dengan cukup rapi. Pada jarak yang sedikit agak jauh, terdapat warung sederhana yang menjual minuman dan makanan ringan. Tidak terlihat ada cindera mata yang dijual.
Arca Totok Kerot
Sepasang anak muda bersiap meninggalkan area, dengan bangunan pos jaga situs Arca Totok Kerot di belakangnya. Pos ini dibiarkan kosong tidak terjaga, yang bisa jadi ini karena jarangnya orang yang datang berkunjung ke situs ini.
Arca Totok Kerot merupakan situs terbesar peninggalan Kerajaan Kediri yang pernah ditemukan di daerah itu. Mungkin ada baiknya area situs ini diperluas, dan ditanami pohon peneduh, serta dibuat tengara yang memberi informasi kepada pengunjung seputar situs Arca Totok Kerot ini.

Arca Totok Kerot

Dusun Kunir, Desa Bulupasar
Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri

Minggu, 15 Januari 2012

petilasan sri aji jayabaya

asan Sri Aji Jayabaya


Setelah mengelar doa bersama di balai desa Menang,
rombongan melakukan kirab menuju petilasan Jayabaya.


Pada abad XII kerajaan Kediri pernah dipimpin oleh seorang raja yang bergelar prabu Sri Aji Jaya Baya. Dalam sejarah kerajaan Kediri, Jayabaya adalah raja yang dikenal sakti dan mampu meramalkan kejadian yang akan datang. Ramalan itu dikenal dengan "Jongko Joyoboyo. Bahkan beberapa masyarakat percaya ramalan tersebut masih berlaku hingga sekarang.



Selain pada 1 Muharam, pada hari-hari tertentu petilasan ini juga ramai dikunjungi para peziarah.
Menurut para sesepuh desa Menang, Jayabaya adalah titisan dari dewa Wisnu. Yaitu dewa yang menjaga keselamatan dan kesejahteraan di muka bumi. Cerita rakyat yang berkembang di masyarakat pada akhir hidupnya Jayabaya tidaklah meninggal. Melainkan muksa atau raib jiwa beserta jasadnya. Tempat muksa Jayabaya terletak di desa Menang, kecamatan Pagu. Tepatnya sekitar 8 km dari kota Kediri.


Selama prosesi upacara berlangsung, hanya para sesepuh beserta pembawa perlengkapan ubo rampe
saja yang diperbolehkan masuk area petilasan.
Menurut Misri sang juru kunci petilasan, ada empat tempat sakral di komplek tersebut. Beberapa tempat itu adalah loka mukso yaitu tempat prabu Jayabaya menghilang atau mukso, loka busana tempat meletakkan busana kebesarannya sebelum muksa, loka mahkota sebuah tempat untuk meletakkan mahkotanya, dan yang terakhir adalah Sendang Tirto Kamandanu tempat pemandian yang biasa digunakan Jayabaya.


Loka Mahkota adalah tempat prabu Jayabaya meletakkan mahkota, beberapa saat sebelum muksa.
Bentuk bangunannya menyerupai cungkup mahkota setinggi 4 meter.

Pada awal tahun baru Hijriyah atau 1 Muharam komplek tempat muksanya Jayabaya ramai dikunjungi orang. Mereka datang dengan maksud dan tujuan yang berbeda-beda. Mulai dari sekedar berziarah hingga mencari berkah. Di komplek petilasan pada tanggal 1 Muharam atau 1 Suro digelar berbagai prosesi ritual napak tilas. Acara yang diadakan oleh Yayasan Hontodento dari Yogyakarta dan pemerintah kabupaten Kediri ini, selain untuk menghormati Jayabaya juga dijadikan agenda wisata budaya rutin tiap tahun. Rangkaian prosesi tersebut diawali dengan doa bersama yang digelar di balai desa Menang.


Dalam prosesi tabur bunga, pembawa dan yang menaburkan bunga haruslah gadis yang masih perawan.

Selanjutnya rombongan warga yang mengenakan busana Jawa tersebut, melakukan kirab atau berarakan menuju petilasan. Dalam barisan kirab terdiri dari para sesepuh, pembawa payung pusaka, pembawa bunga dan warga sekitar. Rombongan pembawa ubo rampe atau segala kebutuhan upacara lebih didominasi oleh para gadis yang masih perawan dan para jejaka. Setelah memasuki area petilasan tidak semua rombongan bisa memasuki petilasan. Hanya para sesepuh dan pembawa ubo rampe saja yang boleh masuk. Setelah prosesi upacara selesai, rombongan yang lain baru diperbolehkan masuk.



Peserta ritual lebih banyak didominasi oleh para gadis dan jejaka.
Di area petilasan digelar beberapa prosisi upacara, antara lain prosesi tabur bunga yang dilakukan oleh para perawan disekitar tempat muksanya Jayabaya. Tak jarang dalam prosesi ini para pengunjung berebut bunga yang digunakan ritual tabur bunga. Menurut para peziarah, bunga yang digunakan dalam upacara ini banyak memiliki berkah. Selanjutnya prosesi utama adalah penyemayaman pusaka Jayabaya di lokasi petilasan. Dalam ritual ini dilanjutkan permohonan doa yang dipimpin oleh seorang sesepuh.



Dengan diselimuti aroma dupa seorang sesepuh memanjatkan doa di area petilasan.
Seluruh rangkaian ritual tersebut, diakhiri di Sendang Tirto Kamandanu. Sebuah sendang yang terletak sekitar 1 km dari petilsan tempat muksa Jayabaya. Hal ini dilakukan untuk membuang sial dan pengaruh jahat yang bisa mengganggu para peserta ritual.


Setelah beberapa ritual di kompleks petilasan selesai digelar,
rombongan melanjutkan kirab menuju Sendang Tirto Kamandanu.

Meskipun seluruh prosesi ini dilakukan setiap satu tahun sekali, tapi pada hari-hari tertentu petilasan Jayabaya juga ramai dikunjungi orang baik dari dalam maupun luar kabupaten Kediri. Menurut warga sekitar petilasan, tak jarang para tokoh politik juga sering melakukan ziarah ditempat ini.